Berkawan Dengan Bencana

Musibah beruntun tengah di melanda negeri kita tercinta ini Berkawan Dengan Bencana
Musibah beruntun tengah di melanda negeri kita tercinta ini, Indonesia. Sebuah negeri yang katanya Jambrud di Khatulistiwa ternyata memiliki potensi tragedi yang cukup banyak. Tengoklah mulai dari tragedi gempa yang kerap terjadi di negeri ini hingga letusan gunung berapi. Belum lagi tragedi yang diakibatkan dari ulah insan ibarat banjir dan longsor bahkan Lumpur. Belum kering air mata tanggapan bancana banjir tanah longsor di Wasior Papua, gempa yang didiringi tsunami menerjang Kepulauan Mentawai dan yang terakhir yang hingga ketika ini masih berlangsung yaitu Letusan gunung merapi yang entah hingga kapan akan berhenti walupun intensitasnya sudah menurun, letusan sudah berkurang, erupsi awan panas juga berkurang, tapi status masih awas sebab energinya masih banyak.

Namun dari semua tragedi yang terjadi itu, tidak cukup kita hanya melontarkan pertanyaan mengapa? Atau hanya sekedar menyalahkan alam itu sendiri. Tidak sanggup ibarat itu!! Ini tanah kita, tempat hidup kita.

Seharusnya kita berfikir semakin matang dan cerdik menyikapi tragedi yang akhir-akhir ini sering melanda negeri kita. Kita tidak pernah tahu kapan tragedi tiba namun yang terperinci kita berada dan hidup di negeri yang memang menyimpan potensi tragedi yang banyak. Seperti yang kita ketahui dibanyak buku pelajaran geologi bahwa Negara kita yaitu Negara kepulauan yang terletak di tempat episentrum gempa bumi sebab dilintasi oleh patahan kerak bumi lanjutan patahan kerak bumi dari pulau Sumatera, yang berada dilepas pantai selatan pulau Jawa.

Posisi Indonesia yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng bumi yang besar yaitu Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia membuat perairan maritim di sekitar kita sering mengalami gempa bumi belum lagi termasuk dalam Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (bahasa Inggris: Ring of Fire) yaitu daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk ibarat tapal kuda dan meliputi wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.

Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5–6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) yaitu sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika.

Berdasarkan hal itu maka tentu saja otomatis Negara kita yaitu Negara yang memang rawan tragedi gempa baik berupa gempa tektonik maupun vulkanik. Maka dari itu kita sepatutnya harus sudah mengerti akan kondisi alam kita bahwa tragedi semacam itu tentu akan kerap terjadi dan harus selalu siap kita hadapi. Mau tak mau pada karenanya kita harus berteman dengan bencana itu sendiri, berusaha hidup berdampingan dengan bencana.

Seperti layaknya sebuah pertemanan, kita insan yang lebih banyak di beri nalar untuk berpikir, harus sanggup memahami karakteristik alam tempat tinggal kita. Kita tahu alam telah memberi begitu banyak kekayaan untuk kita. Tanah bekas bubuk vulkanik menjadi tanah subur. Namun harus tahu juga bahwa dibalik kebaikannya, alam kita memiliki abjad keras dengan banyak sekali tragedi yang sanggup ditimbulkannya.

Lalu harus ibarat apa perilaku kita?

Ilmu Pengetahuanlah jawabannya..

Seharusnya dari banyak sekali tragedi yang telah menimpa kita, masyarakat harusnya lebih tahu dan mau berguru dari setiap tragedi yang tiba tentunya untuk menghindarkan kita dari banyaknya korban jiwa yang mati sia-sia sebab bencana. Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan bukan hanya untuk evakusai atau sekedar dukungan masakan saja namun yang lebih penting yaitu segera dibangunnya pusat-pusat info yang lebih akrab ke daerah masyarakat rawan tragedi dan membeikan penyuluhan bagi masyarakat desa yang sebagian besar belum mengerti ihwal cara menangulangi atau menyiasati tragedi supaya tidak memakan banyak korban. Teknologi sebagi system peringatan dini bila akan terjadi tragedi ibarat letusan gunung , Gempa dan Tsunami harus semakin dikembangkan.

Belajar dari Jepang

Jepang merupakan negara yang sering mengalami gempa. Kasus-kasus gempa di Jepang tergolong besar, sementara gempa kecil sudah merupakan sajian rutin masyarakat Jepang. Bagaimana kita berguru dari mitigasi tragedi gempa di Jepang?

Kita sanggup terapkan model penanganan gempa di Jepang dengan karakteristik tragedi ibarat yang terjadi di Negara kita ibarat bila terjadi Letusan Gunung berapi.

Model pembangunan pasca Bencana baik itu berupa tragedi Gempa atau Letusan Gunung yaitu :.

Pertama yaitu langkah evakuasi dan pemulihan.

Kedua, yaitu rekonstruksi.
Rekontruksi yang dimaksud bukan hanya pembangunan rumah tinggal, sarana dan prasarana saja tetapi lebih pada rekontruski yang terjadwal dengan membuat master plan rumah tinggal, tata kota dan kemudahan umum yang sanggup menghindari kita dari ancaman bancana yang sanggup tiba setiap saat. Misalnya dengan membuat dan mensosialisasikan pembuatan rumah tahan gampa, atau kalau diharapkan membuat bungker keselamatan, membuat saluran jalan darurat bila terjadi tragedi tau apapun itu yang sekiranya sanggup meyelamatkan warga dari ancaman bencana.

Contohnya Pada Juli 1995, pemerintah Jepang gres mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada creative reconstruction yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era gres dan masyarakat matang (drive to maturity). Tampaknya mereka meminjam kerangka Rostow dalam model pembangunannya. Mereka punya visi ''mewujudkan masyarakat gres menyongsong masa 21, dan membuat kota tahan gempa sehingga warga sanggup merasa confident''.

Yang jauh lebih penting yaitu impian mature society tersebut, dimana upaya membangun creative civil society yang berbasis kolaborasi antara warga dan pemerintah menjadi visi besarnya. Termasuk dalam rekonstruksi ini warga dilibatkan dengan diberi kesempatan membentuk Komite Rekonstruksi yang didampingi konsultan profesional. Mereka sebagai kawan pemerintah dalam rekonstruksi ini. Sehingga, langkah pertama pemerintah dalam rekonstruksi ini yaitu mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua diskusi sosial-ekonomi.

Dalam tiga tahun, seluruh infrastruktur, ibarat jalan, rel kereta api, dan sarana komunikasi lainnya selesai, dan bahkan jauh lebih manis dari sebelumnya. Begitu pula lapangan kerja dan perumahan gres telah dibuka, serta creative civil society terbentuk. Dan, dari survey terhadap korban bencana, ditemukan bahwa 82,8 persen responden menyampaikan sudah pulih. Jadi, tidak hanya rekonstruksi fisik dan ekonomi yang terjadi, tetapi juga rekonstruksi sosial-politik.

Ketiga, yaitu keselamatan dan keamanan.
Pemerintah harus mendorong adanya komunitas pencegahan tragedi dimana warga disiapkan untuk siap setiap ketika ketika terjadi gempa. Selain itu langkah antisipasi tragedi kemudian dijadikan jadwal nasional dengan mempersiapkan jaringan komunikasi yang lebih baik yang aman pada saat-saat darurat. Ini harus dilakukan mengingat kita sadar bahwa langkah pemerintah pada ketika tragedi terjadi sering dianggap lambat sebab lantaran lemahnya sistem komunikasi darurat. Keterlambatan ini sanggup menjadi fatal sebab tanggapan lambatnya penanganan dan sitem komunikasi akan membuat semakin banyaknya korban yang tidak sanggup tertolong.

Contoh Jepang yang telah menerapkan Perbaikan sistem ini dan ternyata berhasil yaitu ketika Oktober 2004 lalu, Niigata dihantam gempa. Dalam tujuh menit, angkatan bersenjata Jepang sudah bertindak dan 30 menit kemudian info sudah terkumpul. Lalu, pemerintah provinsi lainnya, Hyogo, eksklusif mengirim hebat pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat ancaman rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual dan psikologi.

Model penyuluhan gempa
Masyarakat dituntut harus lebih sadar dan waspada bahwa betapa tragedi setiap ketika mengancam dan untuk itu diberikan Model penyuluhan untuk mengahadapi tragedi ibarat letusan gunung atau gempa. Langkah-langkah mudah dalam menghadapi tragedi harus dikenalkan di sekolah-sekolah dasar, hingga keseluruh kelurahan bahkan masyarakat terpencil yang banyak tersebar di Negara kita termasuk bagi setiap warga gila yang akan tinggal di Indonesia. Selain berupa peragaan, harus juga dibikin dan disebarkan buku kecil yang berisi mekanisme darurat gempa dalam bentuk gambar dan goresan pena yang singkat, padat, menarik, dan gampang dipahami.

Sebagai contoh, di Jepang, diajarkan bahwa langkah pertama yaitu mencari selamat dengan membisu di bawah meja dengan bantal di atas kepala. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepala dari benda-benda yang mungkin jatuh dan mengenai kepala kita. Ini berbeda dengan di Indonesia, yang terbiasa eksklusif lari keluar gedung atau rumah yang ditujukan untuk menghindari reruntuhan. Selain itu, di Jepang, sebagian dari mereka juga dianjurkan untuk cepat membuka pintu, namun hanya untuk mempermudah saluran keluar sehabis gempa berhenti, dan bukan untuk lari keluar gedung.

Langsung keluar gedung dianggap lebih beresiko, daripada membisu di bawah meja. Ini mengingat banyaknya gedung-gedung tinggi di Jepang. Bila api kompor masih menyala, sangat dianjurkan untuk lebih dulu mematikan gas, dan kalau api sudah mulai menyala besar sebagai tanda kebakaran mereka mesti mematikan dengan pemadam kebakaran yang harus disediakan di setiap rumah. Dalam buku kecil tersebut juga dijelaskan soal tsunami. Ini dikhususkan bagi mereka yang tinggal di akrab pantai. Begitu terjadi gempa, langkah pertama harus mencari tempat atau lahan yang tinggi. Tsunami biasanya tiba begitu cepatnya sehabis gempa.

Seluruh mekanisme ibarat itu sudah mendarah daging pada masyarakat Jepang. Tentu ini merupakan salah satu keberhasilan jadwal penyuluhan antisipasi gempa. Hal ini ditambah lagi dengan tugas televisi yang selalu menyiarkan warning yang diberikan lembaga-lembaga riset yang ada. Begitu terjadi gempa, dalam kurang dari dua menit telah ada goresan pena di setiap jadwal TV bahwa telah terjadi gempa dengan rincian kekuatannya. Tidak hanya gempa, tragedi angin taifu juga selalu mengancam. Namun, angin taifu sanggup lebih dini terdeteksi dan disiarkan TV seminggu sebelumnya. Pergerakan angin taifu di pasifik selalu diperlihatkan di layar TV setiap saat, sehingga kita tahu dimana posisi angin taifu. Artinya, masyarakat memang telah disiapkan untuk menghadapi bencana, dengan sistem deteksi dini, sistem diseminasi informasi, serta mekanisme standar ketika terjadi bencana.

Seperti itulah seharusnya perilaku kita dalam menghadapi tragedi yang terjadi mengingat tragedi yaitu kawan kita yang harus dimengerti dan dipahami apa maunya sebab kita tidak sanggup melawan kekuatan alam yang maha dahsyat, bukan dengan bertahan sebab belum ada wangsit atau hal-hal berbau gaib yang biasanya dikaitkan dalam suatu tragedi yang terjadi ibarat yang masih banyak dipercaya di negeri kita ini.

Kearifan Lokal itu perlu namun kearifan lokal yang tidak didiringi dengan ilmu pengetahuan yang biasannya malah menyesatkan.

Karena itu, pesan yang tersirat terbesar yang sanggup kita ambil dari masalah tragedi ibarat gempa dan letusan gunung berapi ini yaitu bahwa pemerintah Indonesia harus mulai sadar ihwal pentingnya mitigasi tragedi alam. Dari mulai sistem deteksi dini yang memang mengandalkan riset, sistem info darurat, administrasi rehabilitasi tragedi alam, serta penyuluhan tragedi alam. Bukan dengan selalu membuat alasan bahwa setiap tragedi yang terjadi tidak sama dengan tragedi bencana yang telah terjadi dahulu. Sebenarnya kita tahu kok tragedi apa saja yang selalu mengancam negeri ini. Gempa, tsunami dan Letusan gunung sudah menjadi tema tragedi biasa di negeri ini. Kaprikornus ya sama saja. Namun mengapa kita selalu belum siap kalau tragedi yang sama datang? Ya sebab kita tak pernah mempersiapkan dengan serius dan terjadwal akan hal itu.

Bencana memang di luar kehendak kita, sehingga yang sanggup kita lakukan yaitu memaksimalkan perjuangan antisipasi untuk meminimalkan dampak. Tentu, harapan kita yaitu bahwa konstruksi fisik, sosial ekonomi, dan politik Bencana mesti sanggup lebih baik dari sebelumnya.

Diakhir goresan pena ini saya hanya akan mengajak bahwa mulai ketika ini selain dari memaksimalkan perjuangan dalam mitigasi tragedi diatas, saya mengajak supaya kita lebih sadar dengan lebih berintrospeksi ke dalam diri kita masing-masing. Sebagai orang beragama, Upaya Beribadah, memperbanyak amal baik harus semakin ditingkatkan sebab bilamana terjadi tragedi yang tidak sanggup kita hindari lagi dan kita hanya sanggup pasrah atas kehendaknya, sekalipun janjkematian menghampiri kita, kita sudah siap dengan amal ibadah yang kita punya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Berkawan Dengan Bencana"

Post a Comment