Gangguan Perkembangan, Jenis, Penyebab Autisme, Terapi Dan Contoh Didik Orang Bau Tanah Bagi Anak Autis

Gangguan Perkembangan, Jenis, Penyebab Autisme, Terapi dan Pola Asuh Orang Tua Bagi Anak Autis - Autisme yakni suatu 'anugerah' pemberian oleh Tuhan. Orang-orang autistik mempunyai kelebihan dan fokus yang luar biasa. Sudah seharusnya kita orang-orang tanpa autisme menghargai mereka semua. Dalam artikel ini akan menjelaskan lebih jauh mengenai tema kita kali ini yaitu autis. Sekaligus mengetahui terapi apa yang pantas dan cocok bagi penyandang autisme. Juga akan memperlihatkan informasi seputar contoh asuh yang baik untuk keluarga dalam memperlihatkan perlakuan terhadap anggota keluarganya yang menyandang autisme.
 Terapi dan Pola Asuh Orang Tua Bagi Anak Autis Gangguan Perkembangan, Jenis, Penyebab Autisme, Terapi dan Pola Asuh Orang Tua Bagi Anak Autis
Anak Pengidap Autisme
Baca juga: Apa Itu Defense Mechanism (Mekanisme Pertahanan Diri)?

Gangguan Perkembangan Autisme

a. Pengertian Gangguan Perkembangan Autisme

Autisme yakni gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Judarwanto, 2006). Autisme merupakan suatu sindroma gangguan perkembangan yang sangat komplek dan berat, dengan dugaan penyebab yang sangat bervariasi, serta tanda-tanda klinik yang biasanya muncul pada tiga tahun pertama dari kehidupan anak (Santosa, 2003).

Autisme yakni suatu kumpulan sindrom akhir kerusakan saraf dan mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari tanda-tanda yang tampak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan (Danuatmaja, 2003).

Autisme yakni sindroma atau kumpulan tanda-tanda di mana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme menyerupai hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan tanda-tanda kelainan sikap dalam kemajuan perkembangan, dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (Yatim, 2003).

Berdasarkan paparan di atas sanggup disimpulkan autisme yakni suatu kumpulan sindrom akhir kerusakan saraf dan mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari tanda-tanda yang tampak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.

Penyebab Autisme

Para mahir belum sanggup memilih penyebab niscaya mengapa seorang anak menjadi autisme. Menurut Danuatmaja (2003) penyebab autisme adalah:

1) Faktor genetik

Adanya kelainan kromosom, hal ini ditemukan pada 5-10% penyandang autisme. Kelainan kromosom ini disebut fragile-x.

2) Kelainan peptida di otak

Keadaan normal, gluten (proten gandum dan kasein (protein susu) dipecah dalam usus menjadi peptida diserap usus dan kemudian beredar dalam darah, bila berlebihan akan dikeluarkan melalui urine,menuju sebagian lainnya akan disaring kembali ketika melewati darah otak, sehingga yang masuk ke dalam otak hannya sedikit (khususnya gliadorphin, turunan peptide gluthen, casamordophin turunan peptide casein) dan berperan dalam meningkatkan jumlah endorphin dan enkefali yang diharapkan dalam pengaturan acara otak. Bila kadar endorphin dan enkefali melebihi kebutuhan akan menjadikan gangguan perilaku, persepsi, intelegensia, emosi dan perasaan. Sebagian besar penyandang autisme turunan peptida yaitu gliadorphin dan casiomorphin dalam urine jumlahnya berlebih yang memperlihatkan adanya kelebihan peptida darah dan otak.

3) Gangguan susunan syaraf pusat

Anak autisme mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya di lobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje, namun pada anak autisme jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibat produksi serotonin kurang, menjadikan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autisme sering terganggu.

4) Gangguan sistem pencernaan

Tahun 1997 seorang pasien autisme mengeluhkan gangguan pencernaan dan ternyata ia kekurangan enzim sekretin. Kasus ini memicu penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan (Danuatmaja, 2003). Penelitian yang di lakukan Buie (2002) seorang dokter anak spesialisasi gastroenterologist dari Harvard Mass General Hospital, menemukan korelasi antara autisme dengan gangguan pencernaan. Hasil pengetesan terhadap enzim anak penyandang autisme juga menyimpulkan hasil yang menyerupai dilakukan oleh Dr. Karoly Horvath dan teman-teman dari Universitas Maryland School of Medicine yaitu kadar enzim pencernaan dari 55% anak penyandang autisme yang diteliti berada pada level di bawah normal. Enzim tersebut yakni glucoamylase, enzim lactase yang mencerna kandungan gula dan susu dan enzim sukrase yang biasa mencerna gula makanan. Temuan ini juga mengandung laporan tidak resmi mengenai adanya perbaikan keadaan anak penyandang autisme sehabis pantang kuliner mengandung gluten atau tepung terigu dan casein atau susu.

5) Keracunan logam berat

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autisme. Diduga kemampuan sekresilogam berat dari badan diteliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Gangguan fungsi otak itulah maka timbulnya gangguan perkembangan dan sikap pada anak autisme menyerupai gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat tanda-tanda autisme (Judarwanto, 2005).

Berdasarkan paparan di atas sanggup disimpulkan penyebab autisme yakni faktor genetik, kelainan peptide di otak, gangguan susunan syaraf, gangguan sistem pencernaan, keracunan logam berat.

Gejala Autisme

Menurut Peeters (2004) gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan paling sedikit dua diantara berikut ini:

1) Ciri gangguan yang terperinci dalam penggunaan banyak sekali sikap non verbal (bukan lisan) menyerupai kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak syarat untuk melaksanakan interaksi sosial.

2) Ketidakmampuan mengembangkan korelasi pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

3) Ketidakmampuan turut mencicipi kegembiraan orang lain.

4) Kekurangmampuan dalam berafiliasi emosional secara timbal balik dengan orang lain.

Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit salah satu dari yang berikut ini:

1) Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa secara ekspresi (tidak disertai perjuangan untuk mengimbanginya dengan memakai mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi). Ciri gangguan yang terperinci pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.

2) Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).

3) Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan akal-akalan atau menggandakan orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Pola minat sikap yang terbatas, repetitif dan streotip menyerupai yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini:

1) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih contoh minat terbatas atau stereotip yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun fokus.

2) Kepatuhan yang tampak diorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang non fungsional (tidak berafiliasi dengan fungsi).

3) Perilaku gerakan stereotip dan repetitive (seperti terus menerus membuka tutup genggaman, memutar jari atau tangan dan menggerakkan badan dengan cara yang kompleks).

4) Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.

Menurut Judarwanto (2005) anak autisme mempunyai masalah/gangguan dalam bidang:

1) Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal mencakup kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak sanggup berbicara, memakai kata-kata tanpa menghubungkannya dengan badan dan hanya sanggup berkomunikasi dalam waktu yang singkat, kata-kata yang tidak sanggup dimengerti orang lain (bahasa planet), tidak mengerti atau tidak memakai kata-kata dalam konteks yang sesuai, ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya, bicara monoton menyerupai robot, bicara tidak dipakai untuk komunikasi serta mimik datar.

2) Gangguan dalam bidang interaksi sosial mencakup gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka, tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli, merasa tidak bahagia atau menolak bila dipeluk, bila menginginkan sesuatu menarik tangan orang lain yang terdekat dan berharap orang tersebut melaksanakan selalu untuknya, tidak membuatkan kesenangan dengan orang lain, ketika bermain bila didekati menjauh.

3) Gangguan dalam bermain diantaranya yakni bermain sangat monoton dan aneh contohnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan kendaraan beroda empat dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu menyerupai kertas, gambar, kartu atau guling, terus dibawa kemana saja beliau pergi, tidak impulsif dan tidak berimajinasi dalam bermain, tidak sanggup menggandakan tindakan temannya dan tidak sanggup memulai permainan yang bersifat pura-pura.

4) Gangguan sikap dilihat dari tanda-tanda terlihat hiperaktif, mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangan menyerupai burung terbang), ia juga sering menyakiti diri sendiri menyerupai membenturkan kepala ke dinding, gangguan kognitif, gangguan makan, dan gangguan sikap lainnya.

5) Gangguan perasaan dan emosi sanggup dilihat dari sikap tertawa-tawa sendiri, menangis atau murka tanpa sebab, sering mengamuk tanpa terkendali (tempertantrum), bahkan menjadi garang dan merusak, tidak sanggup membuatkan perasaan atau tenggang rasa dengan anak lain.

6) Gangguan dalam persepsi sensoris mencakup perasan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah).

Berdasarkan paparan di atas sanggup disimpulkan tanda-tanda autisme yakni gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, gangguan kualitatif dalam berkomunikasi dan contoh minat sikap yang terbatas.

Jenis Terapi Bagi Anak Autis

Berbagai jenis terapi bagi anak autisme telah dilakukan (Danuatmaja, 2003), dengan terapi dini, terpadu dan intensif gejala-gejala autisme sanggup dikurangi bahkan dihilangkan. Berikut ini beberapa jenis terapi bagi anak autisme.

1) Terapi medika mentosa

Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk menekan tanda-tanda hiperaktivitas yang ada, menekan agresifitas yang membahayakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan mengobati gejala-gejala pemanis menyerupai kejang.

2) Terapi biomedis

Terapi ini disusun oleh Paul Shattock, Ph. D, mahir farmasi dan guru besar Universitas Sunderland di Inggris, yang juga terkenal dengan pakar autis. Terapi biomedis di populerkan di Indonesia oleh pakar autis Dr. Melly Budiman, SpKj. Terapi biomedis tanda-tanda autisme ditempuh lewat cara biomedis yaitu memperbaiki metabolisme badan anak, dengan mengikuti mekanisme terapi biomedis orang bau tanah dipandu selangkah demi selangkah membersihkan badan anak dari bahan-bahan yang mengganggu metabolisme dan kerja sistem syaraf. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, menyerupai gangguan pencernaan, alergi, daya tahan badan rentan dan keracunan logam berat (Danuatmaja, 2003).

3) Terapi wicara

Umumnya terapi ini menjadi keharusan bagi anak autisme lantaran mereka mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Langkah pertama yang harus dilakukan yakni menetukan diagnosis penyebabnya.

Menurut Hovland berpendapat bahwa komunikasi antar eksklusif sebagai suatu situasi interaksi, dimana individu (komunikator) mengirim stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk mengubah sikap individu-individu lain dalam situasi tatap muka.

Menurut Danuatmaja (2003), ada tiga tahap terapi yang perlu dilakukan ketika terapi wicara yaitu:

a) Terapi propilactic pre-speech
Mengajarkan anak supaya melaksanakan kemampuan bicara awal, contohnya mengucapkan kata “ba-ba-ba” ketika bergumam.

b) Terapi etiologic
Peran orang bau tanah sangat penting dalam terapi ini lantaran harus memperlihatkan kuliner dan minuman yang sempurna (diet), meningkatkan perkembangan bicara, kemampuan persepsinya, dibarengi juga dengan mengajarkan artikulasi dan irama bicara.

c) Terapi symptomatic
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai kemampuan sendiri atau ekspresif.

4) Terapi okupasi

Terapi ini membantu anak autisme yang mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik, antara lain gerak-geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan otot halus anak. Berikut ini tujuan terapi okupasi pada anak autisme berdasarkan (Danuatmaja, 2003) yaitu Diversional sanggup menghindari neurosis dan memelihara mental. Maksud diversional yakni terapi okupasi sanggup dipakai untuk mengalihkan supaya tidak terjadi neurosis (kegagalan individu memecahkan problem atau tuntutan masyarakat yang menciptakan terganggu dalam pemeliharaan maupun penyesuain diri).

Terapi okupasi juga dipakai untuk menyalurkan emosi atau kekesalan, sehingga walaupun anak murka pada situasi ataupun tekanan yang dihadapi, anak tidak akan menarik diri dan gampang tersinggung.

5) Terapi perilaku

Menurut Danuatmaja (2003) tujuan terapi sikap yakni mengajarkan anak bagaimana berguru dari lingkungan normal, bagaimana berespon terhadap lingkungan, dan mengajarkan sikap yang sesuai supaya anak sanggup membedakan banyak sekali hal tertentu dari banyak sekali macam rangsangan.

Salah satu metoda terapi sikap yakni metoda ABA (Apllied Behavioral Analysis) yang dikenalkan oleh Loovas. Metode ABA bertujuan untuk membentuk sikap atau menguatkan sikap yang positif dan mengurangi atau menghilangkan sikap negatif atau tidak diinginkan.

Berdasarkan paparan di atas sanggup disimpulkan jenis terapi bagi anak autis mencakup terapi medika mentosa, terapi biomedis, terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku.

Pola Asuh Orang Tua pada Anak yang Mengalami Gejala Gangguan Autisme

Menurut Muslimah (2009) tingkat orang bau tanah dalam penerimaan dan contoh penanganan anak dengan problem autis sangat dipengaruhi tingkat kestabilan dan kematangan emosinya. Pendidikan, status sosial ekonomi, besaran anggota keluarga, struktur dalam keluarga dan kultur juga sangat melatarbelakanginya. Persamaan persepsi, kondisi saling memotivasi di antara pasangan akan sangat memilih optimalitas penanganan anak. Hal ini merupakan kondisi ideal yang hendaknya diciptakan dalam lingkungan keluarga. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat kuat ketika menangani anak autis, dalam kondisi tersebut, orang bau tanah mempunyai peranan penting untuk mengelola keadaan keluarga secara total. Ketidakpedulian orang bau tanah sanggup dilihat dari tidak dijalankannya kiprah sebagai orang tua.

Menurut Candra (dalam Setia, 2003) cara efektif contoh asuh orang bau tanah pada anak yang mengalami ganguan autisme yaitu menciptakan harapan, isyarat dan batasan yang terperinci dan konsisten, menetapkan sistem disiplin yang efektif, menciptakan training tingkahlaku yang bervariasi dalam merubah sikap yang paling bermasalah, membantu anak dalam masalah-masalah sosial, mencari solusi atau potensi anak, menciptakan anak merasa bisa dan mempunyai rasa kebanggaan, menetapkan waktu-waktu yang Istimewa setiap hari bagi anak dan menyampaikan bahwa mereka mencintainya, menyayanginya dan selalu akan membantu walau dalam keadaan apapun, memberi kesempatan pada anak untuk berguru mengetahui dan berguru mencicipi kebersamaan melalui keadaan yang baik maupun keadaan yang jelek sekalipun.

Peran orang bau tanah sebagai pemberi pemberian dan partisipasi aktif dalam menangani dan mendidik anak penyandang autis akan berarti bagi kemajuan terapi untuk mencapai kesembuhan. Selanjutnya kiprah orang bau tanah yang berupaya berkomunikasi dengan para mahir dan memperdalam pengetahuan sanggup berdampak hingga sebesar 80% bagi kemajuan pendidikan anak autis Candra (dalam Setia, 2003).

Menurut Danuatmaja (2004) hal yang tidak kalah penting yakni attachment atau kelekatan orang bau tanah dengan anak harus selalu terjaga lantaran kalau tidak ada kelekatan orang bau tanah akan sulit mengajari anak, apalagi anak autis justru mempunyai problem dalam membangun kelekatan dengan orang di sekelilingnya. Orang bau tanah bertugas membangun kelekatan tersebut. Cara termudah yakni dengan bermain. anak autis harus selalu didampingi dalam melaksanakan semua kegiatan.

Berdasarkan paparan di atas sanggup disimpulkan contoh asuh orang bau tanah pada anak yang mengalami tanda-tanda gangguan autisme yakni menetapkan waktu-waktu yang Istimewa setiap hari bagi anak dan menyampaikan bahwa mereka mencintainya, menyayanginya dan selalu akan membantu walau dalam keadaan apapun dan kelekatan orang bau tanah dengan anak harus selalu terjaga.

Sekian artikel tentang Gangguan Perkembangan, Jenis, Penyebab Autisme, Terapi dan Pola Asuh Orang Tua Bagi Anak Autis. Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gangguan Perkembangan, Jenis, Penyebab Autisme, Terapi Dan Contoh Didik Orang Bau Tanah Bagi Anak Autis"

Post a Comment