Teori Aksi Berdasarkan Myers Dan Relasi Konsep Diri Dengan Agresivitas

Teori Agresi Menurut Myers dan Hubungan Konsep Diri dengan Agresivitas - Dalam pembahasan sebelumnya kita membahas mengenai konsep diri dan teorinya. Pada artikel kali ini akan membagikan sebuah teori perihal aksi dari seorang tokoh yang berjulukan Myers. Selain itu dalam artikel ini kita juga akan membahas mengenai konsep diri juga dan kaitannya dengan agresivitas.
Teori Agresi Menurut Myers dan Hubungan Konsep Diri dengan Agresivitas Teori Agresi Menurut Myers dan Hubungan Konsep Diri dengan Agresivitas
Konsep diri, Agresi, dan Agresivitas
Baca juga: Teori, Konsep, dan Dimensi dalam Konsep Diri

Teori Agresi dari Myers

Agresivitas yang terjadi dikalangan pelajar, sanggup dikategorikan atas beberapa bentuk. Myers (dalam Sarlito Wirawan, 2002) mengungkapkan secara umum membagi aksi dalam dua jenis yaitu:

1. Agresi rasa benci atau aksi emosi (hostile aggression)

Agresi jenis ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku bergairah dalam jenis ini ialah tujuan dari aksi itu sendiri, oleh lantaran itu aksi ini disebut juga aksi jenis panas.

2. Agresi Instrumental

Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain. Pada umumnya aksi ini tidak disertai emosi bahkan antara pelaku dan korban adakala tidak ada kekerabatan pribadi. Agresi disini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain.

Dengan demikian, kedua jenis aksi ini berbeda lantaran tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata-mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan aksi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain. Walaupun demikian, memang kedua jenis aksi itu tidak selalu sanggup dibedakan dengan tegas. Oleh lantaran itu, pembagian yang masih umum tersebut perlu diperinci lebih lanjut.

Pembagian yang lebih rinci itu, antara lain dikemukakan oleh Sears, Freedman & Peplau (1991) sebagai berikut:

1. Perilaku melukai dan maksud melukai

Perilaku melukai (misalnya, menembak orang dengan pistol) belum tentu dengan maksud melukai (misalnya, lantaran tidak sengaja). Sebaliknya, maksud melukai (hendak menembak orang) belum tentu berakibat melukai (misalnya, pistolnya ternyata kosong atau macet). Perilaku bergairah ialah yang paling sedikit memiliki unsur maksud melukai dan lebih niscaya terdapat pada perbuatan yang bermaksud melukai dan berdampak sungguh-sungguh melukai. Sementara itu, sikap melukai yang tidak disertai dengan maksud melukai tidak digolongkan sebagai agresif.

2. Perilaku bergairah yang anti sosial dan yang prososial

Perilaku bergairah yang prososial (misalnya polisi membunuh teroris) biasanya tidak dianggap sebagai agresi, sementara sikap bergairah yang antisosial (seperti teroris membunuh sandera) dianggap bergairah akan tetapi, untuk membedakan antara keduanya tidak gampang lantaran ukurannya relatif, sangat tergantung pada norma sosial yang digunakan.

3. Perilaku dan perasaan agresif

Ini pun harus dibedakan walaupun kenyataannya sulit dibedakan lantaran sumbernya ialah pada sumbangan atribusi oleh korban terhadap pelaku. Oran yang terinjak kakinya, contohnya mungkin tidak merasa menjadi korban (walaupun kakinya kesakitan) lantaran dalam keadaan penuh sekali. Sebaliknya, usapan pada punggung seorang perempuan oleh seorang laki-laki sanggup dirasakan sebagai pelecehan (agresi tehadap harga dirinya) walaupun pelaku yang bersangkutan sama sekali tidak bermaksud agresif.

Hubungan Konsep Diri dengan Agresivitas

Setiap individu memiliki evaluasi perihal dirinya. Penilaian ini berdasarkan Jersild (1952) terdiri dari aspek-aspek menyerupai kebahagiaan dan kepuasan, tingkah laris sosial, kegelisahan, popularitas, kompetensi akademis serta penampakan fisik yang dinamakan sebagai konsep diri.

Manusia cenderung memperlihatkan suatu evaluasi terhadap sesuatu yang dipersepsinya, oleh lantaran itu label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya tetapi dibalik itu juga sarat dengan nilai-nilai. Penilaian inilah yang pada kesannya lebih memperlihatkan kiprah dalam memilih tingkah laris yang ditampilkan dan juga akan memperlihatkan efek pada diri seseorang dalam memandang dan menilai dunia sekelilingnya.

Setiap individu menampilkan tingkah laris dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Tingkah laris yang ditampilkan tersebut ada yang merupakan tingkah laris yang sesuai dan ada pula yang menampilkan tingkah laris yang salah atau tingkah laris yang menyimpang, salah satunya ialah sikap agresif.

Atkinson (1987) mengungkapkan bahwa agresivitas ialah sikap yang secara sengaja bermaksud melukai orang lain (secara fisik atau verbal) atau menghancurkan harta benda. Makara agresivitas yang ditampilkan ialah kecenderungan untuk berprilaku melukai orang lain secara fisik atau lisan atau menghancurkan harta benda secara sengaja, dalam wujud perkelahian pelajar atau sering juga disebut tawuran antar pelajar.

Davidoff (1991) menyatakan bahwa aksi ialah setiap tindakan makhluk yang ditujukan untuk menyerang dan menyakiti makhluk lainnya. Pada kenyataannya, aksi ialah respon terhadap amarah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, bahaya sering kali memancing amarah dan kesannya memancing agresi. Bila seseorang terhalang oleh sesuatu untuk mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Dan aksi ialah salah satu cara berespon terhadap putus asa tersebut.

Meskipun insan tidak menghadapi rasa sakit atau pengalaman lainnya dengan aksi refleksi pada hewan, namun mereka juga melaporkan adanya keinginan untuk murka dan menyerang sehabis memperoleh eksekusi fisik. Pengetahuan bahwa rasa sakit sanggup meningkatkan keinginan menyerang secara agresif. Ejekan, hinaan, dan bahaya seringkali merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi, salah seorang akan mengejek atau menghina orang lainnya secara terus menerus hingga pada kesannya terjadi konfortasi fisik. Dikalangan remaja seringkali tindak aksi terjadi hanya lantaran serangan fisik tiba dari perkumpulan lain, sehingga perkelahian masal tidak sanggup dihindarkan. Kekerasan serupa seringkali sanggup dilihat sebagai perjuangan untuk meningkatkan harga diri didepan teman-temannya dan pujian tersendiri.

Agresivitas siswa yang ditampilkan dalam wujud perkelahian pelajar merupakan salah satu sikap menyimpang yang bersifat pelanggaran hokum. Penyimpangan tingkah laris ini disebabkan antara lain lantaran siswa remaja tidak sanggup melaksanakan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mampu atau tidaknya seseorang individu dalam melaksanakan penyesuaian diri dengan lingkungannya ditentukan oleh konsep diri individu tersebut.

Masa remaja ialah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat. Tingkat perubahan dalam sikap dan sikap selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik, saat perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan sikap dan sikap juga berlangsung pesat. Salah satu kiprah perkembangan masa remaja yang tersulit ialah berafiliasi dengan penyesuaian sosial. Remaja harus beradaptasi dengan lawan jenis dalam kekerabatan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang sampaumur diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode topan dan tekanan-tekanan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai jawaban dari perubahan fisik dan kelenjer. Adapun meningginya emosi terutama lantaran remaja berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.

Konsep diri sebagai faktor yang memilih evaluasi individu terhadap dirinya akan mensugesti bagaimana ia mendapatkan dirinya. Penerimaan diri memiliki kedudukan sebagai perantara atau perantara antara identitas diri dan tingkah laris diri, alasannya ialah ia berfungsi sebagai pengobservasi, penentu standar, serta memperlihatkan evaluasi terhadap sesuatu yang dipersepsinya. Siswa atau remaja yang memiliki evaluasi diri yang positif akan lebih gampang mendapatkan kelebihan dan kekurangan dirinya dan sebaliknya. Dengan demikian siswa atau remaja yang menilai dirinya positif akan gampang beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya.

Murray (1956) memperkenalkan gagasan mengenai konsep diri sebagai sebuah penyekat (insulator) terhadap kejahatan. Setelah mendapatkan bahwa murid-murid sekolah dengan konsep diri yang positif tidak berkemungkinan untuk menjadi penjahat. Jika remaja beropini bahwa diri mereka tidak diinginkan oleh orang lain sebagai jawaban orang lain memandang dan menilai mereka negatif maka mereka mencari pertahanan diri dengan bertingkah laris sombong merusak, tidak bisa mengontrol diri melaksanakan kejahatan.

Menurut Rogers (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri memainkan peranan yang sentral dalam tingkah laris manusia, dan bahwa semakin besar kesesuaian di antara konsep diri dan realitas maka semakin berkurang ketidakmampuan untuk beradaptasi orang yang bersangkutan dan juga semakin berkurang perasaan tidak puasnya.

Uraian tersebut memperlihatkan ketidakmampuan remaja melakukana penyesuaian diri dengan lingkungan dikarenakan adanya ketidakmampuan untuk menilai diri secara positif, sehingga tidak sanggup membuatkan sikap terhadap diri serta sikap terhadap orang-orang sekitar.

Hurlock (dalam Burns 1993) megungkapkan bahwa sebuah konsep diri yang tidak realistis kemungkinan besar berkaitan dengan kejahatan lantaran hal tersebut meningkatkan probabilitas bahwa “anak tadi” akan mencoba untuk kemungkinan mengkompensasikan perasaan-perasaan ketidak-memadaian yang tiba dari keadaan yang tidak mencukupi dari gambaran diri yang tidak realistis dengan tingkah laris yang menyimpang oleh masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas sanggup disimpulkan, ditampilkannya sikap bergairah oleh remaja disebabkan oleh kondisi konsep diri yang tidak realistis, dimana individu tidak sanggup mendapatkan dirinya apa adanya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teori Aksi Berdasarkan Myers Dan Relasi Konsep Diri Dengan Agresivitas"

Post a Comment